Senin, 19 Desember 2011

Hubungan zakat dengan pajak menurut hukum Islam

Permasalahan pajak dan zakat selalu merupakan topik menarik. Dari sudut yang sempit kegiatan keduanya adalah sama yaitu menyerahkan sesuatu, tepatnya uang, kepada pemerintah atau badan yang dipercaya untuk menangani hal itu. akibatnya timbul keberatan atau paling tidak pertanyaan bahwa jika keduanya merupakan hal yang sama, kenapa kita harus melaksanakan keduanya, yang akan menggandakan pengeluaran kita.

Banyak orang berusaha menyamakan antara zakat dan pajak, sehingga konsekwensinya ketika seseorang sudah membayar pajak maka gugurlah pembayaran zakatnya. Sementara sebagian lain menolak bahwa zakat sama dengan pajak atau sebagai alternatif dari kewajiban zakat. Zakat dan pajak adalah dua pungutan wajib yang memiliki karakteristik berbeda.

Pembayaran pajak merupakan kewajiban seorang warga Negara. Sementara pembayaran zakat merupakan kewajiban seorang muslim sebagai pembersih harta seorang Muslim. Karena, di dalam harta yang dimiliki terdapat juga hak-hak orang lain.

Al Qur'an menyatakan bahwa kesediaan berzakat dipandang sebagai indikator utama ketundukan seseorang terhadap ajaran Islam ( Q.S 9 : 5 dan Q.S 9:1 ) ciri utama mukmin yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup ( Q.S 23 : 4 ) ciri utama mukmin yang akan mendapat rahmat dan pertolongan Allah ( QS 9:73 dan QS 22 : 40-41 ) kesediaan berzakat dipandang pula sebagai orang yang selalu berkeinginan untuk membersikan diri dan jiwanya dari berbagai sifat buruk seperti bakhil, egois, rakus, tama', sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, mensucikan dan mengembangkan harta yang dimiliki ( QS:9: 103 dan QS 30 : 39 )


Secara bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah. Seorang yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak. Allah berfirman disurat At-Taubah ayat 103, artinya: "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka". Surat Al-Baqaraah 276, artinya: "Allah memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah". Disebutkan dalam hadist Rasulullah saw yang diriwatkan Bukhari dan Muslim, ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore :

Artinya: "Ya Allah berilah orang berinfak gantinya". Dan berkata yang lain: "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak kehancuran".

Landasan kewajiban zakat disebutkan dalam Al Qur'an, Sunnah dan Ijma Ulama.

1. AL QUR'AN
§ Surat Al-Baqaraah ayat 43: Artinya: "Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama dengan orang-orang yang ruku'".

§ Surat At-Taubah ayat 103: Artinya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah mereka karena sesungguhnya do'amu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

§ Surat Al An'aam ayat 141: Artinya: "Makanlah buahnya jika telah berbuah dan tunaikan haknya (kewajibannya) dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)".

2. SUNNAH
§ Rasulullah saw bersabda yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar: Artinya: "Islam dibangun atas lima rukun: Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan".

§ Hadist diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali ra: Artinya: "Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat) atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih".

3. IJMA
Ulama baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer) telah sepakat akan kewajiban zakat dan bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.
Re: ZAKAT DAN PAJAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
by deep.thinking on Tue 21 Apr 2009, 16:21
HAKIKAT PAJAK DAN ZAKAT

Jika dilihat secara cermat memang ada persamaan antara zakat dan pajak, tetapi disisi lain banyak juga perbedaannya. Pajak ialah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran pengeluaran umumdi satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai negara.

Zakat ialah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT terhadap kaum Muslimin yang diperuntukkan bagi mereka, yang dalam Quran disebut kalangan fakir miskin dan mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah SWT dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya.

Menurut Dr.Yusuf Al-Qaradawi dalam ulasannya Sari Penting Kitab Fikih Zakat, Dapat dipetik beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak :

1. Adanya unsur paksaan untuk mengeluarkan
2. Keduanya disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil zakat)
3. Pemerintah tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi.
4. Mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan.

Adapun segi perbedaannya :

1. Dari segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat : suci, tumbuh. Pajak (dharaba) : upeti.
2. Mengenai hakikat dan tujuannya
Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka pendekatan diri kepada Allah.
3. Mengenai batas nisab dan ketentuannya.
Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh siapapun juga. Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan policy pemerintah.
4. Mengenai kelestarian dan kelangsungannya
Zakat bersifat tetap dan terus menerus, sedangkan pajak bisa berubah-ubah.
5. Mengenai pengeluarannya
Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk pengeluaran umum negara.
6. Hubungannya dengan penguasa
Hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila penguasa tidak berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri.
7. Maksud dan tujuan. Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari pajak.

Berdasarkan point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa "zakat adalah ibadat dan juga pajak sekaligus". Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang pengurusannya dilakukan oleh negara. Bila seseorang tidak mau membayarnya sukarela, Negara memintanya secara paksa kemudian hasilnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat.

PEMBAYARAN PAJAK

Menurut Naharus Surur, Direktur Pos Keadilan Peduli Ummat , Pembayaran pajak dapat dibenarkan dalam Syari'at Islam karena memiliki beberapa konsideran:

1. Solidaritas sosial dan tolong menolong sesama muslim dan sesama umat manusia merupakan kewajiban. Allah berfirman dalam surat Al_maidah ayat 2, artinya: "Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran".
2. Sasaran zakat terbatas sedangkan kebutuhan negara tidak terbatas. Para ahli fiqh tidak boleh mercampur adukkan harta zakat dengan pajak. Berkata Abu Yusuf: "Tidaklah layak kiranya harta kharaj (pajak bumi) digabungkan dengan harta zakat, karena harta kharaj adalah harta rampasan untuk seluruh kaum muslimin, sedangkan harta zakat diperuntukkan bagi mereka yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an. Para ulama berkata: "Zakat tidak boleh digunakan untuk membangun jembatan, perbaikan jalan, membuat sungai, pembuatan masjid, sekolah, pengairan dan bendungan".
3. Kaidah-kaidah Umum Hukum Syara'. Banyak sekali kaidah yang dapat dipakai untuk melegalisasi pembayaran pajak, diantaranya Maslahah Mursalah (atas dasar kepentingan).
4. Kebutuhan untuk biaya jihad dengan segala kaitannya.
5. Kerugian dibayar dengan keuntungan.

Ketika umat Islam membayar pajak, dia dapat merasakan hasil pajak tersebut lewat pembangunan dan keamanan. Agar pembayaran pajak dan zakat dapat berjalan dengan baik maka perlu adanya sinkronisasi pembayaran keduanya. Misalnya ketika seseorang sudah membayar zakat, maka beban pembayaran pajaknya dikurangi sebesar zakat yang telah dikeluarkan agar tidak terjadi kedholiman pada wajib zakat atau wajib pajak.

UU Pengelolaan Zakat dan UU Pajak

Benda-benda yang harus dikeluarkan zakatnya secara eksplisit dikemukakan dalam UU pengelolaan zakat No.38 Tahun 1999 Bab IV tentang pengumpulan zakat pasal 11 ayat ( 1 ) menyatakan bahwa zakat terdiri atas zakat maal dan fitrah. Pada ayat ( 2 ) dikemukakan bahwa harta yang dikenai adalah :

a. Emas, perak dan uang
b. Perdagangan dan perusahaan
c. Hasil Pertanian, hasil perkebunan dan hasil perikanan
d. Hasil pertambangan
e. Hasil Perternakan
f. Hasil pendapatan dan jasa
g. Rikaz

Ayat ( 3 ) Penghitungan zakat maal menurut nishab, kadar, dan waktu ditetapkan berdasarkan hukum agama ( Syariat Islam)

Dalam undang-undang Pajak yaitu No. 17 tahun 200 dikemukakan dalam pasal 9 ayat (1) bahwa untuk: g. Harta yang dihibahkan bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga yang dibentuk atau disyahkan oleh pemerintah. Diktum tersebut secara jelas menyatakan bahwa zakat yang dibayarkan kepada BAZ dan LAZ yang sah menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Zakat yang dibayarkan dihitung sesuai dengan ketentuan syari'ah di atas yang selanjutnya dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Misalnya nilai harta perusahaan yang kena zakat adalah 100 juta, maka zakatnya adalah 2,5 juta, kemudian nilai tersebut dikurangi atas penghasilan kena pajak

Setelah mengkaji beberapa perbedaan antara zakat dan pajak maka dapat dimengerti bahwa zakat tidak dapat digantikan oleh pajak. Walaupun, sasaran zakat hampir dapat tercapai sepenuhnya oleh pengeluaran dari pajak. Zakat berkaitan dengan ibadah yang diwarnai dengan kemurnian niat karena Allah. Ini adalah tali penghubung seorang hamba dengan Khaliqnya yang tidak bisa digantikan dengan mekanisme lain apapun. Zakat adalah mekanisme unik yang islami, sejak dari niat menyerahkan, mengumpulkan dan mendistribusikannya. Maka apapun yang diambil negara dalam konteks bukan zakat tidak bisa diniatkan seorang Muslim sebagai zakat hartanya. Demikian pula setiap pribadi Muslim wajib melaksanakannya walaupun dalam kondisi pemerintah tidak memerlukannya atau tidak mewajibkannya lagi. Harta yang dimiliki, pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Allah lah yang kemudian melimpahkan zakat, selain diwajibkan atas harta yang dapat terlihat, dan bisa diketahui serta dihitung oleh selain pemilik harta, juga wajib ditunaikan atas harta tersembunyi. Artinya yang tak dapat diketahui dan terhitung, kecuali pemiliknya. Karena itu mungkin saja bagi orang-orang yang lemah imannya akan menyembunyikan atau menutupi sebagian harta yang mereka miliki, hingga tidak terhitung zakatnya. Namun, bagi seorang muslim yang bertakwa, yang keimanannya mengakar dalam jiwa, akan menyadari betapa Allah SWT, Yang Maha Mengetahui penghkhianatan mata dan Yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati, akan tetap berlaku benar. Meski tanpa adanya pengawasan secara nyata, ia senantiasa merasa bahwa dirinya dan seluruh yang ia miliki tak mungkin luput dari pengetahuan Allah SWT. “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika amalan itu hanya seberat biji sawi pun pasti kami mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat Perhitungan.” (QS. Al-Anbiyaa:47).

Dari sisi lain menunaikan zakat juga akan menanamkan rasa takut kepada Allah. Mengingatkan jiwa akan saat tibanya hari perhitungan. Sebab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda bahwa dua kaki seorang hamba tidak akan melangkah pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang empat hal. Diantaranya, tentang hartanya dari mana diperoleh dan kemana dipergunakan. ( dari berbagai sumber )
Hubungan Antara Zakat Dan Pajak
Berbagai pendapat telah bekembang di masyarakat, yakni mengenai persamaan dan perbedaan antara zakat dan pajak. Jika dilihat secara lahiriah antara zakat dan pajak dalam status hukum maupun pemanfaatannya mempunyai beberapa persamaan, namun tetap ada perbedaan dalam pengertian, dalam tata cara pengambilan, maupun dalam penggunaanya.

Istilah pajak menurut pakar ekonomi kontemporer telah mendefinsikan bahwa pajak ialah sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang dan bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu. Pajak diadakan untuk dialokasikan supaya mencukupi pangan secara umutn dan untuk memenuhi keuangan bagi pemerintah.

Adapun unsur-unsur pajak adalah sebagai berikut.
1. Pajak adalah pembayaran tunai, artinya bahwa seorang mukallaf membayarnya dengan uang tunai tidak berupa barang.

2. Pajak adalah kewajiban yang mengikat, artinya bahwa pajak ialah kewajiban yang dipungut dari setiap individual sebagai suatu keharusan.

3. Pajak merupakan kewajiban pemerintah, sehingga pejabat pemerintah atau lembaga yang berwenang mewajibkan pajak yang kemudian hasilnya dipergunakan untuk kepentingan umum.

4. Pajak adalah kewajiban yang bersifat final, artinya orang mukallaf tidak berhak untuk menolak atau menuntut sekalipun tidak tercipta suatu kemanfaatan.

5. Pajak tidak ada imbalannya, artinya tidak ada syarat bagi wajib pajak untuk memperoleh imbalan atau fasilitas kesejahteraan, sehingga tidak ada hubungan antara membayar pajak dengan fasilitas yang diperoleh oleh wajib pajak.

6. Pajak adalah kewajiban tuntutan politik untuk keuangan negara.

Pendapat Ahli
Menurut pakar ekonomi Islam zakat ialah sebagai harta yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat berwenang kepada masyarakat umum dan individu yang bersifat mengikat, final, dan tanpa mendapat imbalan tertentu yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta. Zakat di alokasikan untuk memenuhi kebutuhan delapan golongan yang telah ditentukan oleh Al Quran, sehingga zakat dilakukan untuk memenuhi tuntutan bagi keuangan Islam.

Adapun unsur-unsur dari zakat adalah sebagai berikut.
1. Zakat adalah kewajiban yang bersifat material seorang mukallaf muslim membayarkannya baik secara tunai berupa uang maupun barang.

2. Zakat merupakan kewajiban yang bersifat mengikat, artinya membayar zakat bagi seorang muslim mukalalaf adalah suatu keharusan.

3. Zakat adalah kewajiban pemerintah, pejabat pemerintah Islam, para imam mewajibkan zakat berdasarkan anggapan bahwa mereka melaksanakan kewajiban ilahiyah sebagai kewajiban.

4. Zakat merupakan kewajiban final, artinya orang Islam tidak boleh menolak dan tidak ada hak orang islam untuk menentang dan menuntutnya.

5. Zakat adalah kewajiban yang tidak ada imbalannya, tidak ada syarat untuk memperoleh kemanfaatan atau fasilitas yang seimbang bagi pembayar zakat, dan tidak ada hubungan antara kewajiban zakat dengan imbalan yang seimbang setelah membayar zakat.

6. Zakat merupakan kewajiban tuntutan politik untuk keuangan Islam. Alokasi zakat adalah untuk golongan delapan penerima zakat, sebagaimana yang telah ditentukan dalam surat At-Taubah:60.

Zakat dan pajak meskipun kedua-duanya sama adalah merupakan kewajiban dibidang harta, namun keduanya mempunyai falsafah yang khusus dan keduanya mempunyai perbedaan sifat dan asas, sumber, sasaran, bagian, kadarnya, prinsip, tujuan, dan jaminannya.

Persamaan antara zakat dan pajak adalah sebagai berikut.
1. Unsur paksaan dan kewajiban yang merupakan cara untuk menghasilkan pajak, hal ini terdapat juga dalam zakat apabila seorang muslim terlambat membayar zakat maka keimanan dan ke-islamannya belum kuat.

2. Bila pajak harus disetor kepada lembaga masyarakat baik pusat maupun daerah maka zakat pun juga disetorkan kepada pemerintah sebagai anvil zakat.

3. Di antara ketentuan pajak tidak adanya imbalan tertentu bagi para wajib pajak menyerahkan pajaknya selaku anggota masyarakat. Dem ikian juga dengan zakat, ia wajib memberikan hartanya untuk menolong warga masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan, dan penderitaan hidup.

4. Jika pajak mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi, dan politik di samping tujuan keuangan, zakat pun mempunyai tujuan yang lebih luas aspeknya dari aspek yang disebutkan untuk pajak.
Source : http://artikelterbaru.com
Skripsi Jurusan Syariah
Diskusi mengenai hubungan zakat dan pajak nampaknya telah dimulai sejak masa-masa awal pengembangan Islam. Itu terjadi tatkala pasukan muslimin baru saja berhasil menaklukkan Irak. Khalifah Umar, atas saran−saran pembantunya memutuskan untuk tidak membagikan harta rampasan perang, termasuk tanah bekas wilayah taklukan.[1] Tanah−tanah yang direbut dengan kekuatan perang ditetapkan menjadi milik kaum muslimin. Sementara tanah yang ditaklukkan dengan perjanjian damai tetap dianggap milik penduduk setempat. Konsekuensinya, penduduk diwilayah Irak tersebut diwajibkan membayar pajak (khara>j), bahkan sekalipun pemiliknya telah memeluk ajaran Islam. Inilah kiranya yang menjadi awal berlakunya pajak bagi kaum muslimin di luar zakat.
Penarikan pajak di luar zakat selanjutnya terus berlangsung meski dengan alasan yang berbeda−beda. Seiring berjalannya waktu, hubungan zakat dan pajak menjadi terbalik. Dimulai dengan kemunduran kaum Muslimin, penjajahan Eropa, dan hegemoni peradaban Barat sehingga hukum−hukum syar’i semakin ditinggalkan, dan sebaliknya hukum−hukum Barat buatan manusia diutamakan. Kewajiban zakat disubordinasikan dan diganti dengan kewajiban pajak. Akibatnya muncul pertanyaan: Wajibkah kaum Muslimin membayar zakat sementara ia telah membayar pajak, Padahal sebenarnya pajak tidak mempunyai hubungan keterkaitan langsung dengan keyakinan agama. Oleh sebab itu tidaklah bisa dipersamakan antara zakat dan pajak, sehinga munculah perdebatan tentang kewajiban membayar zakat setelah pajak ataupun sebaliknya.[2]
Perbedaannya zakat diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah kepada orang-orang beriman untuk mengharapkan keridhoan-Nya, sedangkan pajak diwajibkan oleh negara kepada warga negara yang didasarkan pada Undang-undang yang pemungutannya dapat dipaksakan. Tujuan pajak dan zakat sebenarnya tidak jauh berbeda yaitu sama-sama menginginkan terciptanya kesejahteraan umat.
Pemerintah telah menerbitkan UU No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan untuk mengakomodasi umat Islam yang membayar zakat dan pajak. Dengan disyahkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, mulai tahun 2001 sebenarnya para pembayar zakat penghasilan (zakat ma>l) sudah dapat menjadikan jumlah zakat yang dibayar sebagai faktor pengurang atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari Pajak Penghasilan. Ini adalah langkah awal yang baik, walaupun langkah ini belumlah cukup karena zakat bukan hanya ada pada penghasilan kena pajak tapi meliputi banyak hal yang justru oleh pemerintah tidak dikenakan pajak, tapi merupakan sesuatu yang zakatnya sangat ditekankan dalam Agama. Sebagai misal adalah zakat hasil pertanian, dan zakat hewan ternak. Namun demikian, Pemerintah secara tidak langsung menghargai zakat sebagai salah satu kewajiban (rukun) bagi yang beragama Islam untuk mendorong sekaligus mengingatkan bahwa zakat adalah suatu kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan.
Yang kemudian menjadi persoalan adalah adanya anggapan bahwa umat Islam di Indonesia yang membayar zakat seolah-olah terkena pengeluaran berganda, selain membayar pajak juga membayar zakat dari penghasilan yang diperolehnya. Oleh karena itu untuk keadilan sudah selayaknya dipikirkan bagaimana agar umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia ini bisa menjadi warga Negara yang baik sekaligus menjadi umat Islam yang taat. Dan salah satu cara yang telah ditempuh adalah ditetapkannya zakat sebagai faktor pengurang dalam perhitungan penghasilan kena pajak (PKP).[3]
Di tengah menguatnya peranan pajak dalam penerimaan negara, secara bersamaan muncul sebuah kesadaran umat akan peranan zakat. Dua hal ini menuntut pengelolaan yang tepat. Manajemen yang buruk terhadap kenyataan ini tentu akan menimbulkan efek yang kontra produktif dalam pembangunan nasional. Setidaknya sejak tahun 1990-an pembahasan keduanya memunculkan beberapa isu penting yang berkisar pada permasalahan eksistensi, pada aspek ini diskusi berkembang dari persoalan eksistensi sampai posisi pajak dan zakat. Seperti salah satu pendapat yang mendudukkan keduanya dalam hubungan substitusi. Dengan pendapat ini pajak dan zakat dapat saling menggantikan dan saling menghapus kewajiban. Umat Islam yang sudah membayar pajak tidak perlu membayar zakat dan sebaliknya.
Problem dari pendapat ini adalah tidak tersedianya alat legislasi yang mendukung pendapat ini. Undang-undang yang berhubungan dengan pajak penghasilan sebelum UU Nomor 17 Tahun 2000 tidak memiliki pasal-pasal yang akomodatif terhadap pendapat ini. Oleh karena itu, anggapan bahwa jika telah dilakukan pembayaran atas zakat, maka tidak perlu membayar pajak, menjadi sulit dicari argumentasi hukumnya.
Sementara pendapat yang lain menolak pendapat pertama dan menyatakan bahwa pajak dan zakat bersifat eksklusif satu dengan lainnya. Pembayaran pajak bukan merupakan pembayaran zakat. Dan pembayaran zakat bukan merupakan pembayaran pajak. Problem yang muncul dari pendapat yang kedua ini adalah munculnya dualisme pemungutan atas objek yang sama. Dualisme pemungutan ini pada gilirannya tentu akan menyulitkan pemilik harta atau pemilik penghasilan. Kontraksi dana dengan dualisme sistem ini potensial menimbulkan efek yang kontra produktif dalam konteks menyejahtarakan rakyat.[4] Sehingga hal ini bisa menjadi pemicu dikalangan umat muslim untuk lebih memprioritaskan pembayaran pajak daripada zakat.Umat Islam di Indonesia khusunya dan juga di Negara-negara Islam lainnya (Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Mesir) menghadapi masalah yang aktual mengenai pajak dan zakat. Yaitu, seandainya umat Islam di Negara yang pemerintahannya tidak menangani langsung pengelolaan zakat, seperti Indonesia, dan pemerintah memungut pajak yang jumlahnya melebihi jumlah zakatnya, tetapi pemerintah menggunakan sebagian pajak itu untuk semua sebagian dari delapan pos penggunaan zakat yang dapat diketahui lewat GBHN, Pelita dan APBN),[5] maka apakah pembayaran zakatnya bisa diniatkan sebagai pembayaran zakatnya, atau dicari jalan keluar lain untuk menghindari double duties yang bisa memberatkan?[6]Sebagai objek kajian, tulisan ini akan membahas pendapat Djamal Doa dan Didin Hafidhuddin mengenai permasalahan pajak dan zakat di Indonesia. Hal ini diasumsikan pada dedikasi kedua tokoh tersebut yang mewakili antara satu dengan yang lainnya. Djamal Doa sebagai anggota DPR RI Periode 1999-2004 Komisi V dan juga sebagai anggota panitia anggaran, ia juga pernah bekerja pada direktorat jenderal pajak, dan bisa dikatakan sebagai seorang pakar pajak. Namun demikian, ia konsisten dan gigih memperjuangkan agar zakat bisa dikelola oleh Negara. Sebagai seorang pakar pajak ia mendorong agar dilakukan subsidi silang guna menghindari pungutan ganda pajak dan zakat, ini bisa diartikan bahwa pembayaran pajak bisa sekaligus sebagai pembayaran atas zakat, atau sebaliknya pembayaran zakat bisa sekaligus menutup kewajiban pajak[7]. Ini terutama kaitannya dengan pajak dan zakat penghasilan. Dengan demikian ia bisa digolongkan sebagai kelompok pertama. Sedangkan Didin Hafidhuddin yang merupakan seoarang ulama pakar zakat di Indonesia, ia mewakili kelompok kedua, yang melihat pajak dan zakat secara eksklusif, dimana pembayaran pajak bukan merupakan pembayaran zakat, dan pembayaran zakat bukan merupakan pembayaran pajak. Diantara keduanya tidak bisa saling menggantikan. Karena menurut Didin Hafidhuddin, nisab merupakan keniscayaan sekaligus merupakan kemaslahatan, sebab zakat itu diambil dari orang yang kaya (mampu) dan diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu. Indikator kemampuan harus jelas, dan nisablah merupakan indikator kemampuannya. Jika kurang dari nisab, Islam memberikan pintu untuk mengeluarkan sebagian dari penghasilan yaitu infak dan sedekah.
Dengan demikian menjadi menarik untuk membahas pajak dan zakat dalam pandangan kedua tokoh tersebut, guna memunculkan wacana yang dialogis dan dialektis antara keduanya.

1 komentar: